Kisah yang sangat Mengharukan, Perjuangan sang ibu yang diberkahi 3 Anak Tunannetra

Indoplagos

Alhamdulilah, meski tunanetra, ketiga anak kami sudah hafal lebih dari satu juz al-Qur’an. Si sulung, hafal 10 juz al-Qur’an secara acak.

Vonis dokter yang menimpa bayiku yang baru berusia seminggu itu bak belati yang menyayat hati. Perih rasanya. Seketika kebahagiaan sebagai pasangan suami istri yang baru saja diberi momongan terusik.

“Anak ibu diserang tumor mata,” ucap dokter.

Peristiwa itu bermula, saat suatu hari kami dapati tersedia keanehan di ke dua mata putra kami. Nampak tersedia titik putih di bagian retinanya. Tak mendambakan berlangsung perihal buruk, diperiksakanlah ke beraneka tempat, mulai dari puskesmas hingga tempat tinggal sakit.

Mulanya deagnosa dokter berbeda-beda, hingga dijalankan rontgen spesifik mata. Jatuhlah vonis getir itu. belumlah reda kekagetan, dokter menyarankan operasi pengangkatan tidak benar satu mata, sehingga tumor tidak mengalami pertumbuhan.

Terang sebuah alternatif yang terlampau berat untuk diterima. Oleh dikarenakan itu, sehabis bermusyawarah, keluarga setuju untuk tidak menindaklanjuti anjuran dokter. Pertimbagannya, cara itu serupa sekali tidak memberi pengarus pada penglihatan sang anak.

Setahun berselang. Secara kasat mata, nampak tidak tersedia pertumbuhan artinya pada tumor bayi kami. Kamipun kembali ke tempat tinggal sakit untuk memeriksakan. Sungguh di luar dugaan, kali ini dokter bicara lebih garang, mengenai cara operasi.

“Mau menentukan mata atau menentukan nyawa?!” sengatnya.

“Ini jika tidak dijalankan tindakan operasi,” sambungnya bersama suara tetap meninggi. “Tumor bakal membesar dan membahayakan nyawa.”

Mendapat teguran keras demikian, saya kelanjutannya beralih pikiran. Adapun suami tetap bergeming bersama sikap semula. Tapi ia mengalah. Jadwal operasipun ditentukan.

Tapi di sela-sela penantian, kami aktif berkonsultasi ke beraneka dokter/praktisi kesehatan, mengenai efektifitas operasi bersama kesegaran bayi.

Pada akhirnya, tepat sehari sebelum akan eksekusi, saya memastikan untuk tidak melanjutkan operasi. Meski demikian, kegalauan bakal makin lama memburuk kesegaran bayi kami belum sirna. Sebagai ikhtiar penyembuhan penyembuhan alternatif menjadi pilihan.

Di luar itu, secara pribadi, saya selalu bermunajat kepada Allah Subhanahu Wata’ala didalam tiap-tiap sujud, sehingga Dia mencukupkan bayi kami kebutaannya sekiranya itu telah menjadi ketettapan-Nya. Tidak disempurnakan bersama rasa sakit tumor. Kami ikhlas.

Allah Maha Pengijabah doa, mengabulkan permohonan hamba-Nya ini. Tahun demi tahun berlalu, tidak tersedia pertumbuhan tumor di mata si buah hati. Kecuali kebutaan ke dua mata, kesegaran organ tubuh lainnya normal-normal saja.

Menginjak tahun ke lima, saya dikarunia anak kedua. Alhamdulillah normal. Tidak berkurang sesuatu apa-pun didalam perihal fisik.

Tapi jujur, pada mulanya saya dan suami telah buat persiapan mental. Apapun takdir Allah Subhanahu Wata’ala berkaitan bersama keadaan bayi, bakal ridha dan ikhlas menerimanya. Karena bagiku, takdir Allah adalah yang paling baik bagi tiap-tiap hamba-Nya.

Lima tahun berikutnya, anak ketiga lahir. Takdir Allah pula yang menentukan, kondisinya sama bersama si sulung; buta. Demikian pula bersama anak yang keempat, lahir setahun setelahnya. Jadilah tiga dari empat putra kami mengidap tunanetra.

Dua Bekal

Sebagai orangtua, saya dan suami paham betul bakal tantangan ketiga anak kami di era mendatang. Lambat laun, mereka bakal paham bahwa mereka terlahir secara special.

Tidak serupa bersama anak-anak pada umumnya. Selain itu, bersamaan bersama bertambahnya usia, tidak mungkin selalu menggantungkan kepentingan kepada orangtua.

Suatu saat mereka tentu bakal hidup sendiri. Entah disebabkan kami sebagai orangtua meninggal terutama dahulu. Atau lain sebagainya. Tapi itu tentu menjadi keniscayaan yang tak bisa dielakkan.

Sebagai ‘sangu’ untuk hadapi hari itu, saya dan suami selalu membekali mereka sedini mungkin. Nilai-nilai agama menjadi modal utama.

Wa bil spesifik pelajaran ikhlas untuk terima  takdir Allah. Agar mereka ridho bersama segala ketetapan-Nya.

Kami jelaskan, bahwa seluruh manusia itu diciptakan Allah beserta bersama kelebihan dan kekurangan masing-masing. Ada yang tidak miliki tangan, kaki, lebih-lebih tidak bisa bergerak serupa sekali disebabkan lumpuh total.

Syukur Alhamdulillah, Allah beri kemudahan kepada anak-anak untuk terima pesan yang disampaikan. Mereka tumbuh sebagai teristimewa tidak enteng tersinggung.

Sebagai contoh, M Sattar al-Mubarrak, putra ketiga. Ia pernah dibilang serupa hantu oleh kawan-kawannya di sekolah.

Dengan santai Sattar menimpali “Biar aja. Wong Allah telah menakdirkan begini. Disyukuri aja apa adanya. Yang penting tetap manusia.”

Modal Pertahanan

Harus diakui miliki tiga  anak tunanetra bukan perkara enteng untuk mengarahkan/membimbing mereka. Harus awas. Ini belum menyangkut perkataan miring dari pihak luar.

Tapi secara teristimewa saya tidak pernah menyoal. Bagaimana pun keadaan bagiku mereka adalah anugerah paling baik dari segi Allah. Hanya hanya pandangan manusia mengalami kekurangan.

Sepirit inilah yang membuatku dan suami kuat/ikhlas meniti seluruh ujian ini. yakin, bahwa Allah cuma memandang ketakwaan seseorang, bukan fisik.

Tak pernah saya berkeluh-kesah didalam menyikapi kekurangan fisik anak-anak. Mereka tetaplah special dan anugerah terindah yang diberikan Allah Subhanahu Wata’ala kepada kami.

Kami menyimpulkan demikian, dikarenakan bukan mustahil, bersama diberi pengelihatan, anak-anak bisa terjerumus ke pergaulan bebas seperti saat ini yang begitu masif. Na’udzubillah min dzalik. Tapi bersama keadaan seperti ini, Insya Allah mereka terjauhkan. Ini hikmah yang kami ambil.

Kunci lainnya sehingga untuk hadapi ujian ini, saya dan suami tak pernah mengubris penilaian negatif orang lain pada anak-anak. Bagi kami itu seluruh tidak penting. Lebih baik fokus mendidik mereka sebaik mungkin, atau menyeriusi usaha busana yang sedang dijalankan.


Selain itu, kami terhitung membiasakan anak-anak beribadah, seperti;  sholat, mengaji (al-Qur’an Braille), hingga setoran hafalan al-Qur’an. Untuk membaca, saya sendiri telah belajar membaca huruf Braille. Sehingga saat di tempat tinggal bisa membimbing anak-anak.

Adapun didalam upaya membangun kemandirian, kami melatih anak-anak melakukan kegiatan secara mandiri.

Misal mandi. Langkah lainnya, sehingga miliki kekuatan bersosialisai baik di masyarakat, melepaskan anak-anak berinteraksi bersama warga. Bahkan, belajar pun di masukkan di sekolah umum, bersama anak-anak normal lainnya.

Terlepas dari segala ikhtiar, perihal paling penting didalam pembangunan mental anak, orangtua yang terutama dahulu perlu bermental baja. Kalau orangtua lemah mentalnya, maka anak bakal lebih rapuh. Umpama, mau mendaftarkan ke sekolah, malu. Mau melepaskan bergaul di penduduk malu. Apa-apa malu.

Alhamdulillah pada perkembangannya, bersama pola pengasuhan demikian, ketiga anak anak kami yang tunanetra bisa dbilang lumayan lues didalam bergaul. Tidak minder.

Tidak enteng tersinggung bersama ejekan kawan. Bahkan si kecil, Ghilman Nizar Ali (4), bisa membawa sepeda angin ke lebih dari satu tempat yang telah ia kuasai medannya.

Soal prestasi, kami terhitung bersyukur.Ketiganya telah hafal lebih dari satu juz al-Qur’an. Terkhusus untuk si sulung, Nabiel, tidak cuman telah hafal 10 juz al-Qur’an secara acak, ia terhitung telah menerbitkan sebuah novel berjudul ‘Nafas Sang pekat’ yang memuat kisah perjalanannya.

Sudah lebih dari satu kali melakukan bedah buku. Setiap kali tampil, tersedia saja peserta yang terharu bersama prestasi yang diraihnya bersama memandang latar belakang sebagai anak tunanetra.

Mudah-mudahan seutuhnya menjadi anak sholih yang diridhai oleh Allah kehidupannya, di dunia dan akhirat. amiin.*/Sebagaimana yang dikisahkan Muslimah, Ibu asal Bojonegoro kepada hidayatullah.com.
Tags